UUD 2002 dan Mafia UGM
Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts
JUM’AT Malam (15/12/2023) ini saya menerima e-book berjudul “Amandemen UUD 1845: Antara Mitos dan Pembongkaran” karya Denny Indrayana, PhD terbitan Mizan. Beberapa nama terkenal seperti Amien Rais, Jimly Ashiddiqie, Refly Harun, dan Anies Baswedan memberi endorsement atas buku adaptasi disertasi PhD Denny di University of Melbourne, Australia yang berjudul “Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: an Evaluation of Constitution-Making in Transition” 2007.
Dalam pengantarnya, Denny menyebut bahwa amandemen itu telah menghasilkan konstitusi yang lebih baik. Diakui bahwa telah terjadi perubahan mendasar atas UUD 1945 naskah asli. Namun UUD 2002 ini resmi disebut UUD NRI Tahun 1945. Oleh Prof. Kaelan, UUD 2002 disebut sebagai UUD palsu.
Enam bulan belakangan, Denny aktif membuat kritik tajam atas pemerintah Presiden Joko Widodo, dan mengatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran konstitusi yang dilakukannya sudah cukup untuk memulai proses pemakzulan. Baik Denny, Refly, dan belakangan Eep Saifullah Fatah menganjurkan agar Jokowi dimakzulkan, sebelum atau setelah Pilpres 2024.
Ketiga tokoh liberal ini tidak menyadari bahwa UUD 2002 liberal yang mereka banggakan justru telah memungkinkan figur semacam Jokowi tiba-tiba muncul menjadi Walikota Solo (tidak selesai), Gubernur DKI (tidak selesai), lalu Presiden (tidak selesai juga?). Banyak tokoh yang semula juga pendukung die hard Jokowi seperti Gunawan Mohammad dan Butet Kartarajasa, serta Ikrar Nusa Bakti belakangan mengakui kekeliruannya.
Pilpres langsung versi UUD 2002 terbukti dalam rezim Jokowi membawa problem maladminitrasi dan akuntabilitas publik yang serius. Sebanyak 150 juta pemilih secara langsung tidak memiliki legal standing yang jelas sehingga sulit menagih tanggungjawab paslon terpilih.
Yang terpilih pun biasanya jumawa, mudah mengabaikan DPR dan rakyat pemilihnya. Dengan ketimpangan literasi, informasi, ekonomi dan sosial, mayoritas pemilih menentukan pilihannya dengan cara menebak, hasil penggiringan opini, intimidasi dan politik uang.
Apalagi jika paslon diajukan oleh koalisi partai politik hasil dagang sapi dengan para bandar politik, maka pilpres akan berpotensi memilih paslon yang keliru. Telah lahir berbagai regulasi yang hanya menguntungkan para bandar politik yang menyediakan logistik selama Pilpres, tidak berpihak pada kepentingan mayoritas pemilih. Regulasi-regulasi tersebut ditetapkan tanpa pelibatan publik yang memadai.
Potensi kekeliruan Pilpres ini terbukti sekarang dengan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Wakil Presiden itu by default harus mampu menjadi Presiden jika presiden berhalangan tetap. Tidak boleh negara berjalan tanpa presiden walau satu menit sekalipun.
Begitu presiden berhalangan tetap, wakil presiden harus segera dilantik menjadi presiden. Untuk menjamin keberlanjutan, wakil presiden seharusnya memang ditetapkan sebagai calon presiden periode berikutnya. Wapres adalah president in waiting. Dia magang menyiapkan diri sebagai Presiden. Wapres bukan ban serep.
Dia harus dilibatkan dalam tugas-tugas presiden agar memberi pengalaman yang cukup untuk menjadi presiden. Jabatan presiden sebagai amanah besar cukup sebentar dan sekali saja. Sindrom petahana, i.e. ingin terus berkuasa, jangan sampai terjadi. Syarat menjadi cawapres seharusnya tidak jauh berbeda dengan syarat menjadi presiden. Kepemimpinan nasional akan makin terjamin keberlanjutannya tanpa gejolak yang berarti.
Proses menuju Pilpres 2024 sudah dipenuhi kontroversi karena diwarnai skandal etik MK, KPK, KPU dan Bawaslu. Netralitas ASN, polisi dan tentara diragukan. Kecurangan Pilpres 2019 yang juga membelah bangsa menjadi kaum cebong dan kampret berpotensi terulang kembali. Ditambah lagi dengan pembobolan Daftar Pemilih Tetap, hasil pilpres ini tidak menentu jika bukan sulit dipercaya. Kemungkinan besar pemilih akan keliru lagi memilih presiden dan wakilnya. Akhirnya Pemilu akan terus meninggalkan kepiluan.
Pilpres seharusnya diserahkan kembali pada MPR sebagai lembaga tertinggi negara sesuai UUD 1945.
Biarkan wakil-wakil rakyat pilihan hasil Pemilu, para raja-raja dan tokoh adat Utusan Daerah, dan para pemimpin organisasi massa, organisasi profesi, organisasi tani, nelayan, dan buruh yang sudah melayani masyarakat bertahun-tahun sebagai Utusan Golongan memilih presiden dan wakilnya secara cermat dan elaboratif, serta bermusyawarah bil hikmah bagi masyarakat luas.
Akuntabilitas paslon juga mudah ditagih wakil-wakil kita di MPR melalui uji kepatuhan pada GBHN dalam Sidang Istimewa, bukan melalui pemakzulan yang dirancang berbelit-belit, justru karena pilpres ini ongkosnya makin mahal bagi APBN dan bagi para bandar politik.
Mengembalikan konsep dasar berbangsa dan bernegara sesuai UUD 1945 asli hasil rumusan H. Agoes Salim dkk ini bukan agenda tentara atau ORBA, juga bukan karena klangenan ideologis romantis seperti sinyalemen Denny.
Dari disertasinya terungkap bahwa perubahan UUD 1945 menjadi UUD 2002 dilakukan atas fasilitasi LSM asing seperti Centre for Electoral Reform (CETRO), Freedom Institute, dan CSIS yang liberal pro-Barat. Denny ternyata cukup jumawa karena memperoleh asupan pemikiran asing sambil meremehkan kapasitas intelektual para pendiri bangsa ini.
Terbukti lagi bahwa banyak PTN besar hanya sibuk menjadi konsumen pemikiran Barat, abai untuk menerjemahkan UUD 1945, terutama Pembukaannya menjadi body of knowledges yang dibutuhkan bagi perumusan kebijakan pembangunan bagi negara yang baru merdeka.
Model pembangunan ekonomi kita sejak Orba disusun oleh Mafia Berkeley yang bekerja sebagai economic hitmen yang bercokol di FE UI, terbukti telah menjerumuskan bangsa ini ke dalam jebakan ekonomi komoditi atau dutch disease, serta middle income trap. Kini kita terjerumus ke jebakan constitutional meddling trap karena ulah para law hitmen mafia UGM. (*)